slide 1
Image Slide 2
Image Slide 1
Image Slide 5
Image Slide 3
Image Slide 4
previous arrowprevious arrow
next arrownext arrow
Shadow
Gambar 2
Gambar 2

Basit Cinda: Antara Hasrat Perantau dan Realitas Negeri Melayu

Pangkalpinang  — Gelanggang Pilkada Ulang Pangkalpinang 2025 semakin semarak. Bukan hanya diisi tokoh lokal, akademisi, maupun politisi kawakan, tetapi juga diwarnai sosok perantau yang berani menaruh mimpi besar di tanah orang.

Nama Basit Cinda Sucipto, pengusaha kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, tiba-tiba muncul di panggung politik Pangkalpinang. Kehadirannya sontak mengundang perbincangan. Sebagian menyebut langkah Basit sebagai bukti keberanian, sebagian lain menilainya sebagai mimpi yang sedikit berlebihan.

Bagi masyarakat Pangkalpinang, seorang pemimpin bukan sekadar figur administratif. Ia harus menyatu dengan denyut sejarah, adat, dan emosi kolektif masyarakat Melayu-Tionghoa yang sudah berabad-abad menjaga identitas kota ini. Dalam konteks itu, Basit tampak seperti tamu yang mencoba masuk ruang keluarga—boleh saja duduk, tapi belum tentu dianggap bagian dari rumah.

Meski kiprahnya di dunia usaha di Bangka Belitung cukup panjang, jejak sosial dan budaya Basit dinilai masih samar. Ia memang pernah mengenyam pendidikan di banyak tempat—Merauke, Lampung, hingga Universitas Indonesia—namun tidak pernah melalui “madrasah sosial” khas Pangkalpinang: tumbuh besar dalam komunitas lokal, bersinggungan dengan adat, atau ikut menjaga ritual yang menjadi perekat identitas.

Sebagian warga khawatir, jika kota ini dipimpin figur yang tidak lahir dari rahim lokal, kebijakan nantinya lebih condong pada kepentingan jaringan luar ketimbang menguatkan marwah Pangkalpinang sebagai kota bersemboyan Sepintu Sedulang. Kekhawatiran itu wajar, karena dalam sejarah politik Babel, sentuhan identitas sering lebih kuat daripada sekadar hitungan logika bisnis.

Basit mungkin datang dengan niat tulus membangun, tapi masyarakat Pangkalpinang tentu akan bertanya: apakah ia benar-benar datang untuk menjadi bagian dari kami, atau sekadar singgah membawa kepentingan sendiri?

Di tanah Melayu ini, jabatan wali kota bukan hanya kursi kekuasaan, melainkan simbol jati diri. Dan Basit, dengan segala prestasi dan latar belakangnya, masih harus membuktikan bahwa ia bukan sekadar perantau yang bermimpi besar di tanah orang. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *