KBRINA.COM, PANGKALPINANG — Program bernama “Priority Card Berly Logistik Babel” yang beredar melalui grup WhatsApp menimbulkan kekhawatiran publik. Grup dengan Ratusan (-+ 500 ) anggota itu, dipimpin oleh beberapa admin seperti Simbah Kun, Chandra Pranata, Teresa Wie, dan Wadhan Muttaqin, aktif mengarahkan anggota untuk mengisi formulir daring (Google Form) disertai unggahan foto KTP, dengan dalih pembuatan rekening digital Bank Mandiri dan penerbitan kartu transaksi digital bernama Priority Card.
Dari penelusuran percakapan dalam grup tersebut, diketahui anggota diminta membayar Rp120.000 untuk mendapatkan kartu yang disebut berfungsi layaknya E-Money atau kartu debit yang bisa digunakan di Alfamart, Indomaret, e-toll, hingga agen Berly Logistik di seluruh Indonesia.
Salah satu admin bahkan menyebutkan bahwa kartu ini “sekaligus daftar rekening Bank Mandiri digital untuk pencairan Coin Pi lewat Pi Browser.”
Namun, setelah ditelusuri, klaim itu tidak sesuai dengan prosedur resmi Bank Mandiri.
Bank Mandiri mensyaratkan verifikasi langsung oleh pemilik identitas, baik melalui aplikasi resmi Livin’ by Mandiri maupun kunjungan ke cabang, serta tidak pernah meminta data KTP melalui pihak ketiga atau formulir Google.
Artinya, jika benar data pribadi anggota dikumpulkan untuk “pembuatan rekening digital,” maka praktik ini berpotensi melanggar Pasal 26 Undang-Undang ITE tentang Perlindungan Data Pribadi dan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
Dalam percakapan lain, salah satu petinggi Berly Logistik Babel bernama Chandra Pranata menyampaikan keterangan yang justru menambah kerancuan:
“Kita melalui Lampung sebagai upline kita pembuatannya.” ujar Chandra Pranata dalam pesan group WhatsApp.
Pernyataan itu menimbulkan tanda tanya baru. Jika benar kartu tersebut dibuat “melalui Lampung,” siapa sebenarnya pihak yang bertanggung jawab dan memiliki otorisasi atas penerbitan kartu yang mengatasnamakan Bank Mandiri? Tidak ada kejelasan lembaga resmi yang disebut sebagai penerbit ataupun pengelola administrasi di wilayah Lampung.
Dalam obrolan di grup, Chandra Pranata juga menjelaskan bahwa kartu tersebut akan menjadi “dompet digital” untuk menampung Pi Coin hasil swap dan dihubungkan dengan sistem digital Bank Mandiri, bahkan dikaitkan dengan konsep CBDC (Central Bank Digital Currency) — padahal Bank Indonesia sendiri belum mengumumkan kerja sama resmi dengan entitas swasta mana pun terkait peluncuran CBDC dalam bentuk kartu.
Penjelasan tersebut memperkuat dugaan bahwa narasi digitalisasi keuangan dan Pi Coin digunakan sebagai alat legitimasi untuk mengumpulkan data pribadi dan uang anggota.
Pernyataan “transaksi Berly sudah digital, tidak bisa uang tunai” semakin menegaskan bahwa pengelola mendorong sistem keanggotaan berbasis transfer tanpa kejelasan legalitas lembaganya.
Bahkan dalam percakapan lain, beberapa anggota mulai mempertanyakan validitas program ini:
“Kalau dikeluarkan Bank Mandiri, artinya data pribadi disetorkan ke bank, tapi apakah bank tahu?” tanya salah satu anggota dengan nada curiga.
Namun jawaban dari admin grup justru menegaskan klaim bahwa “yang mengeluarkan kartu adalah Bank Mandiri dan anggota otomatis dapat rekening digital.”
Hingga berita ini diturunkan, pihak Bank Mandiri belum mengonfirmasi keterlibatan resmi dalam program yang mengatasnamakan kerja sama dengan “Berly Logistik Babel.”
Jika terbukti menggunakan nama bank tanpa izin, tindakan ini dapat dijerat Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran informasi palsu yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik, serta Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Kasus ini menunjukkan pentingnya kewaspadaan terhadap penawaran investasi, kartu digital, atau program reward yang meminta data pribadi seperti KTP, nomor rekening, dan biaya administrasi tanpa kejelasan dasar hukum maupun lembaga penerbitnya.
Para ahli keamanan siber mengingatkan: data KTP dan rekening adalah “kunci digital” — begitu bocor, bisa digunakan untuk membuka rekening palsu, pinjaman online, bahkan pencucian uang.
Fenomena Berly Logistik Babel menjadi cermin dari maraknya modus baru yang memadukan narasi digitalisasi keuangan, cryptocurrency, dan nama besar bank nasional untuk membangun kepercayaan semu.
Dalam dunia yang semakin digital, kehati-hatian bukan sekadar saran — ia adalah bentuk perlindungan diri yang paling nyata.
(35ha)





