slide 1
Image Slide 2
Image Slide 1
Image Slide 5
Image Slide 3
Image Slide 4
previous arrowprevious arrow
next arrownext arrow
Shadow
Gambar 2
Gambar 2

MENJAGA OTONOMI DESA DALAM MENDORONG KEMANDIRIAN DESA  DITINJAU DARI PERSPEKTIF DINAMIKA KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Oplus_131072

Oleh Sugito *)

Pendahuluan.

Desa selama ini menjadi ujung tombak pembangunan nasional yang seringkali mengalami tarik-ulur antara kebijakan pusat dan kebutuhan lokal. Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo yang tengah mengemban amanah besar, isu otonomi desa dan kemandirian desa menjadi semakin relevan, bahkan krusial. Desa tidak hanya sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek yang mampu menggerakkan perubahan dan kesejahteraan secara mandiri. Namun, menjaga otonomi desa tidak lepas dari dinamika kebijakan yang masih didominasi pola top-down, dengan berbagai tantangan dan peluang yang mesti dipahami secara kritis.

Otonomi desa secara formal dijamin melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan ruang besar bagi desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Konsep ini sejalan dengan prinsip demokrasi desa, di mana pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Pemerintah desa sebagai pemerintahan terendah bukan hanya menjalankan perintah pusat, melainkan mampu merancang dan melaksanakan program pembangunan sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Kemandirian Desa dan Kebijakan Pemerintahan saat ini

Kemandirian desa adalah output utama dari otonomi ini, meliputi kemandirian ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Desa yang mandiri dapat mengelola sumber daya lokal, meningkatkan produktivitas masyarakat, serta memperkuat fungsi pemerintahan desa untuk pelayanan publik yang lebih baik.

Dalam perjalanan pemerintahan, kita melihat semangat untuk memperkuat desa melalui berbagai program dan kebijakan, seperti Dana Desa yang terus ditingkatkan, pengembangan koperasi desa, serta penguatan lembaga adat dan pemerintahan lokal. Namun, seringkali kebijakan yang dihasilkan masih terkesan bersifat top-down, dengan standar yang seragam dan instruksi langsung dari pemerintah pusat yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan spesifik desa.

Model kebijakan top-down ini berpotensi melemahkan otonomi desa. Ketika desa dipaksa menjalankan kebijakan tanpa ruang inovasi, partisipasi masyarakat cenderung berkurang dan semangat kemandirian menjadi tergerus. Contohnya adalah program pengadaan barang dan jasa yang mengharuskan desa mengikuti prosedur yang rumit dan seragam tanpa fleksibilitas lokal, yang membuat banyak desa kecil kesulitan dan akhirnya bergantung pada pihak luar.

Desa harus menjadi Subyek Pembangunan

Pemerintah desa harus menjadi aktor utama dalam mendorong kemandirian. Penguatan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan, pendampingan, dan akses informasi sangat diperlukan. Tanpa kualitas sumber daya manusia yang memadai, otonomi desa hanya menjadi jargon semata. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa harus diprioritaskan agar tidak terjadi penyalahgunaan yang dapat menggerus kepercayaan masyarakat. Pemerintah daerah juga memiliki peran krusial dalam mendukung desa, melalui regulasi yang fleksibel, pengawasan yang konstruktif, dan penyediaan sumber daya pendampingan. Meski UU Desa sudah menjamin otonomi, sejumlah peraturan turunannya terkadang justru membatasi ruang gerak desa. Misalnya, regulasi keuangan yang ketat dan rumit, standar administrasi yang tinggi, dan kewajiban pelaporan yang berbelit, menyebabkan desa sulit berinovasi dan mandiri. Belum lagi aturan-aturan sektoral dari kementerian berbeda yang sering tidak sinkron, menciptakan tumpang tindih dan kebingungan.

Selain itu, dinamika politik lokal juga dapat memengaruhi otonomi desa, terutama dalam konteks Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Politik elektoral yang kuat kadang membuat pemerintah daerah dan desa lebih fokus pada kepentingan politik jangka pendek ketimbang pembangunan jangka panjang desa. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan pembangunan infrastruktur yang sering kali tidak mempertimbangkan aspirasi desa. Misalnya, proyek pembangunan jalan besar yang melewati wilayah desa tanpa konsultasi yang memadai, sehingga menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Desa yang semestinya berperan sebagai mitra pembangunan justru menjadi korban marginalisasi. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam juga sering diambil pusat tanpa melibatkan desa secara penuh, sehingga hak dan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa terabaikan. Akibatnya, potensi kemandirian desa justru hilang dan ketergantungan terhadap pusat semakin kuat.

Pemilihan Kepala Desa secara langsung merupakan wujud demokrasi desa yang harus terus dijaga dan diperkuat. Pilkada yang demokratis dan transparan akan menghasilkan pemimpin desa yang legitimate dan mampu menjalankan tugasnya sesuai aspirasi rakyat. Namun, perlu diwaspadai bahwa dinamika politik elektoral sering kali menciptakan friksi dan dominasi elite tertentu yang dapat melemahkan fungsi demokrasi. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan dari masyarakat dan pemerintah daerah sangat penting agar Pilkada menjadi sarana regenerasi kepemimpinan yang berkualitas.

Harapan pada Pemerintah

Sejak kebijakan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa diimplementasikan dengan didukung kebijakan dana desa, desa-desa telah mengalami kemajuan yang ditandai semakin berkembangnya infrastruktur desa, seperti jalan, jembatan, posyandu, poskesdes, sarana irigasi, dan lain sebagainya. Namun kemajuan desa belum diikuti oleh penguatan desa dalam rangka kemandirian desa. Desa yang kuat paling tidak ditandai 3 hal, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Berdaulat secara politik, dimaknai adanya kemampuan desa dalam menentukan arah dan kebijakan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Mandiri secara ekonomi, ditandai adanya kemampuan dalam mengelola sumber daya alam, potensi dan aset yang dimiliki untuk kesejahteraan warganya. Bermartabat secara budaya, dimaknai adanya kemampuan dalam mengelola dan memelihara modal sosial dan budaya dalam menggerakkan Pembangunan desa. Desa yang kuat adalah desa yang semakin mandiri yaitu semakin berkurangnya tingkat ketergantungan pada bantuan pemerintah atasnya.

Menjaga otonomi desa dalam dinamika kebijakan pemerintahan adalah tantangan sekaligus peluang besar. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu menyeimbangkan antara kebijakan top-down dengan kebutuhan bottom-up dari desa. Memberikan ruang bagi desa untuk berinovasi, memperkuat kapasitas aparatur, serta menyederhanakan regulasi menjadi kunci sukses pembangunan desa yang berkelanjutan.

Demokrasi desa melalui Pilkada dan pilkades yang sehat dan penguatan tata kelola pemerintahan desa harus dijaga sebagai fondasi kemandirian. Hanya dengan otonomi yang kuat, desa dapat menjadi pilar utama dalam membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan demokratis.

Sugito *)

Mahasiswa program Doktoral Ilmu Pemerintahan -IPDN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *