Kbrina.com, Jakarta – Di era digital yang semakin canggih, kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar alat pendukung, tapi telah menjadi pemain utama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik. Khususnya, Large Language Models (LLM) seperti GPT series atau model serupa, kini dimanfaatkan untuk menentukan elektabilitas politik—yaitu tingkat popularitas atau kemungkinan kemenangan seorang kandidat dalam pemilu. Di Indonesia, di mana Pemilu 2024 baru saja usai, penggunaan AI dalam prediksi ini semakin masif. Tapi, apakah ini benar-benar revolusi atau justru ancaman bagi demokrasi? Dalam ulasan ini, kita akan bedah bagaimana mesin AI dalam LLM bekerja, contoh aplikasinya, serta pro-kontra yang menyertainya.
Elektabilitas politik tradisional biasanya diukur melalui survei manual, polling opini, atau analisis data historis. Namun, dengan AI, proses ini jadi lebih cepat dan akurat. LLM, yang merupakan model AI berbasis bahasa alami, mampu memproses jutaan data teks dari media sosial, berita, hingga komentar publik. Misalnya, AI bisa menganalisis sentimen netizen terhadap seorang calon presiden, menghitung persentase dukungan, dan bahkan memprediksi pergeseran suara berdasarkan tren real-time. Ini bukan fiksi ilmiah, tapi sudah diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Cara Kerja AI LLM Dalam Prediksi Elektabilitas
Bayangkan LLM sebagai “otak super” yang bisa membaca dan memahami bahasa manusia. Dalam konteks politik, AI ini dilatih dengan data besar (big data) dari platform seperti Twitter (sekarang X), Facebook, atau Instagram. Prosesnya dimulai dari pengumpulan data: AI mengumpulkan tweet, post, dan komentar yang menyebut nama kandidat. Kemudian, melalui teknik seperti Natural Language Processing (NLP), LLM mengklasifikasikan sentimen—positif, negatif, atau netral.
Selanjutnya, model prediksi diterapkan. LLM bisa menggunakan algoritma machine learning untuk memproyeksikan elektabilitas. Contoh sederhana: Jika 70% tweet tentang kandidat A bersentimen positif, dan pola ini mirip dengan pemilu sebelumnya, AI bisa memprediksi kemenangan A dengan margin tertentu. Di Indonesia, platform seperti Pemilu.AI memanfaatkan ini untuk menyediakan data politik digital berbasis AI dan big data, yang membantu partai politik dalam strategi kampanye.
Tak hanya itu, LLM juga bisa mensimulasikan skenario. Misalnya, apa dampak jika seorang kandidat mengeluarkan kebijakan kontroversial? AI bisa “berpura-pura” sebagai pemilih dari berbagai demografi—muda, tua, urban, rural—dan memprediksi reaksi mereka. Penelitian dari Harvard menunjukkan bahwa AI bisa digunakan untuk polling politik dengan akurasi yang mendekati survei tradisional, tapi dengan biaya lebih murah dan waktu lebih singkat. Di sini, LLM seperti ChatGPT bisa menghasilkan respons sintetis yang mewakili opini publik, meski masih ada debat soal keakuratan.
Aplikasi di Indonesia : Dari Pemilu 2024 Hingga Pilkada Ulang Pangkalpinang
Di tanah air, penggunaan AI dalam politik adalah hal baru, tapi melejit pada Pemilu 2024 silam. Menurut peneliti dari UGM Hafiz Noer, AI digunakan untuk “memoles citra” politisi, seperti generating konten kampanye yang menarik. Salah satu contoh nyata adalah platform LLM untuk Pemilu, yang mengintegrasikan AI untuk analisis data politik. Platform ini membantu tim sukses dalam memetakan dukungan, mengidentifikasi swing voters, dan bahkan memprediksi elektabilitas berdasarkan data real-time dari media sosial.
Pada Pilkada Ulang 2025 kota Pangkal Pinang, AI juga dimanfaatkan untuk kampanye digital serta memprediksi elektabilitas. Areng Permana, Penggiat Enthusiast Teknologi dari Walikopi Networking, menyebut AI sebagai “pedang bermata dua” karena bisa efisienkan pemilu tapi juga rawan manipulasi. Contoh lain, Mengunakan AI, menyediakan fitur seperti peta politik dan microtargeting. AI Juga digunakan untuk memprediksi elektabilitas, Visibilitas calon walikota berdasarkan sentimen online.
Kelebihan : Efisiensi dan Akurasi Tinggi
Salah satu keunggulan utama adalah efisiensi. Survei tradisional butuh ribuan responden dan waktu berminggu-minggu, sementara AI bisa proses data dalam hitungan jam. Di Indonesia, ini berarti partai kecil bisa bersaing dengan analisis data murah. Selain itu, prediksi real-time memungkinkan adaptasi strategi cepat, seperti mengubah narasi kampanye berdasarkan tren sentimen.
Akurasi juga jadi nilai jual. Studi menunjukkan AI bisa prediksi elektabilitas dengan error margin rendah, terutama jika dikombinasikan dengan data demografi. Bagi pemilih, ini berarti informasi lebih transparan, membantu mereka buat keputusan berdasarkan data, bukan gosip.
Terbaru Eksperimen AI dari Walikopi Networking pada pilkada ulang Pinang 2025 berhasil memprediksi kemungkinan kemenangan dengan margin error hanya 1 % dengan kombinasi metode analisis sentimen pemberitaan, survey polling sosmed dan visibilitas media para paslon serta ditambah data lainnya.
Tapi, tak ada yang sempurna. LLM sering punya bias inheren dari data pelatihan, yang bisa condong ke satu ideologi. Di Indonesia, jika data didominasi urban, prediksi bisa abaikan suara pedesaan.
Tantangan Etika dan Regulasi di Indonesia
Di Indonesia, regulasi AI masih minim. KPU dan Bawaslu perlu atur penggunaan AI dalam pemilu untuk cegah penyalahgunaan. Peneliti hendaknya meminta pemerintah tingkatkan literasi digital agar masyarakat tak mudah tertipu prediksi palsu. Selain itu, transparansi algoritma penting agar prediksi tak jadi alat propaganda.
Generasi muda, sebagai pengguna AI terbesar, bisa kontribusi positif dengan kreativitas kampanye berbasis AI, seperti yang dibahas Setneg. Tapi, tanpa etika, ini bisa rusak demokrasi.
Masa Depan Yang Cerah Tapi Waspada
Penggunaan mesin AI dalam LLM untuk tentukan elektabilitas politik adalah terobosan besar. Di Indonesia, teknologi ini bantu efisienkan proses demokrasi. Secara global, AI bisa bantu prediksi banyak hal dengan akurat, tapi juga bawa risiko seperti bias dan manipulasi.
Ke depan, AI bisa perkuat demokrasi jika diatur dengan baik. Pemerintah, partai, dan masyarakat harus kolaborasi untuk maksimalkan manfaat sambil minimalkan bahaya. Jadi, apakah AI akan jadi sahabat atau musuh politik? Jawabannya tergantung kita.

